Saat ini masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh tingkat kualitas kesehatan masyarakatnya. Namun sayangnya, masalah ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk ikut membangun generasi masa depan yang sehat, terutama generasi muda. At least hal tersebut terlihat dari ketidak seriusan pemerintah terhadap kebijakan mengenai cukai tembakau dan peredaran rokok yang tidak ketat.
Lebih dari itu, saat ini Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia dengan 31,5% prevalensi merokok, dan 80% di antaranya mengkonsumsi rokok kretek, serta lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Ini membuktikan bahwa persoalan rokok merupakan persoalan yang komplek karena melibatkan masyarakat dan pemerintah sekaligus. Lebih parahnya lagi di kota besar di Indonesia merokok sudah menjadi trends khususnya bagi kalangan wanita. Ini sangat berbanding terbalik dengan negara maju, disana yang menjadi trends adalah gaya hidup sehat untuk olahraga.
Pemerintah lebih mempertaruhkan target penerimaan cukai daripada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Pada tahun 2005, misalnya, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 32,24 triliun yang akan masuk sebagai pendapatan nasional berasal dari pajak tembakau. Diperkirakan penerimaannya akan melebihi target atau sekitar 9% dari APBN, di mana penduduk miskin memberikan kontribusi yang lebih banyak kepada pajak negara.
Perkembangan penyakit yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau sama cepatnya dengan perkembangan penyakit HIV/AIDS. Satu dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia terjadi karena tembakau. Jika kecenderungan konsumsi rokok tidak berubah, maka diperkirakan angka ini akan terus meningkat. Paling tidak itulah yang terlihat dari peningkatan kematian lebih dari satu juta orang akibat rokok pada tahun 2000 dibandingkan kematian pada tahun 1990. Dan 70% di antaranya terjadi di negara berkembang. Untuk Indonesia diperkirakan 4-7% dari total beban penyakit pada tahun 1990 akibat penggunaan tembakau.
Pengendalian masalah tembakau telah menjadi perhatian dan komitmen negara-negara maju demi membangun generasi bangsa yang sehat. Namun bagi negara berkembang, persoalannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini harus menjadi perhatian penting jika menginginkan Indonesia yang lebih baik harus mulai memperketat peredaran rokok dan menaikkan harga rokok menjadi 5x lipat, setidaknya tindakan tersebut akan membuat perokok berfikir dua kalai ketika akan merokok.
Dari penerimaan pendapatan cukai yang begitu besar dari rokok, pembatasan kadar tar dan nikotin rokok yang beredar di Indonesia dicabut dari Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Ini merupakan kenyataan yang paradoks di tengah negara-negera lain sedang bergerak untuk mengendalikan peredaran dan konsumsi rokok di kalangan masyarakatnya.
Perkembangan perokok di negara maju berbanding berbalik dengan negara berkembang. WHO memprediksi bahwa pada 2020 dampak tembakau di negara maju lebih rendah dibandingkan di negara-negara berkembang. Menurut data tahun 1996 trend konsumsi tembakau di negara berkembang adalah 68% dan pada 2001 meningkat menjadi 72%.
Proses penyadaran terhadap bahaya rokok sesungguhnya sudah dilakukan. Paling tidak secara formal hal tersebut terlihat dari peringatan yang disertakan dalam setiap bungkus rokok yang memperingatkan tentang bahaya rokok yang menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Akan tetapi, proses kesadaran tentang bahaya rokok tersebut masih isapan jempol belaka. Pemerintah, dan bahkan tokoh masyarakat, seperti ulama, belum memandang rokok sebagai ancaman, tetapi hal yang biasa.
Selama ini sebagian ulama masih melihat rokok sebagai perbuatan makruh, suatu perbuatan yang kadar dosanya tidak berat. Padahal kalau dilihat dari dampak yang ditimbulkannya terutama bagi orang lain, merokok bukan lagi sebagai perbuatan biasa, justru ia bersifat desktruktif dan mengancam kesehatan orang lain. Dampak asap rokok justru lebih membahayakan orang yang tidak merokok tapi ikut menghirup asap rokok (passive smoker). Orang yang tidak merokok (passive smoker) tetapi menghirup asap rokok, berarti sama besar pula ancaman kematian nya.
Semoga dinegara tercinta ini pengendalian rokok lebih ketat lagi dan jumlah perokok aktif turun. (data source: WHO tobacco)
Dita Surya
July 22, 2017
Benar mas, generasi muda sekarang harus diselamatkan dari bahaya tembakau yang sedang merajalela.